Intrik Culas Ditengah Perebutan Tiket Pilkada

Ditulis oleh Kabiro Grafikanews.com Jawa Timur Arip Marsudi
Pesta demokrasi pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota legislatif dari DPRD kabupaten/kota, provinsi, DPR RI hingga DPD RI telah usai. Kini memasuki babak baru pemilihan kepala daerah serentak yang rencananya akan di gelar pada November 2024 depan. Sedikitnya 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota akan menggelar pilkada serentak pada 27 November 2024. 

Meski pelaksanaan pilkada masih terhitung 6 bulan lagi, namun suhu politik di beberapa daerah sudah mulai menghangat tak sedikit terkategorikan memanas. 

Masing masing bakal calon berebut rekomendasi partai politik sebagai tiket maju sebagai peserta pilkada. 

Namun sayang, ditengah pergulatan perebutan rekomendasi partai itu muncul intrik intrik culas yang lebih mengarah kepada pembunuhan karakter bakal calon.

Petahana atau bakal calon yang dianggap memiliki kans besar memenangi pilkada, akan menjadi sasaran pembunuhan karakter dengan segala macam hujatan dan cacian bahkan cenderung fitnah.

Politik santun, mencerdaskan, dan sarat ilmu pengetahuan berubah menjadi pragmatisme politik yang penuh kebencian.


Debat debat politik diruang publik oleh para elite, tidak lagi mencerahkan masyarakat. Cara menyampaikan atau menggambarkan sebuah gagasan saat ini dirasa miskin data dan hampa logika.

Ke Akuan individu maupuan ke Akuan kelompok menjadi lebih dominan ketimbang kepentingan bangsa dan bernegara. Elite politik yang seharusnya menjadi suri tauladan yang baik malah terjerumus ke dalam perilaku-perilaku yang tidak terpuji menyangkut harta negara (korupsi) maupun moralitas pribadi seperti maraknya perselingkuhan. Mereka justru terjerembab dalam jurang kehidupan yang hedonis, ambisius, dan pragmatis. 

Politik di bangsa kita hari ini seperti kehilangan ruhnya. Politik tidak lagi tentang seni mengatur manusia dengan penuh sentuhan ketulusan, namun berubah menjadi medan konflik yang penuh intrik.

Alhasil, masyarakat menjadi terpecah belah akibat beda keyakinan pilihan. Polarisasi ini bisa kita lihat pada berbagai media sosial. Setiap individu maupun kelompok semakin terjebak pada fanatisme buta.

Parahnya lagi, perilaku politik masyarakat sudah beralih pada pragmatisme transaksional. Siapa memberi apa dan berapa.

Masyarakat sudah tidak lagi melihat latar belakang kandidat, apakah ia sesorang yang pernah dihukum karna korupsi, apakah figur itu pernah terjebak pada kasus perselingkuhan, apakah person itu merupakan sosok yang hanya mendekat kepada rakyat menjelang pemilihan umum.

Tolok ukur masyarakat sangat mudah, apa yang akan kau beri padaku jika aku mendukung dan memilihmu?. Hal ini mengakibatkan biaya demokrasi menjadi sangat mahal.

Masyarakat hampir tidak mau ambil pusing dengan berbagai kegaduhan yang ada, apakah kegaduhan itu benar adanya atau hoax yang menjurus pada fitnah.

Malahan, semakin ada figur yang di "kuyo - kuyo" simpati masyarakat cenderung semakin besar kepada figur yang di buly itu.

Momentum, Pilkada serentak merupakan momentum memperbaharui moralitas politik. Politik santun dan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, seyogyanya lebih dikedepankan ketimbang politik culas yang penuh intrik dan fitnah. 

Tags: