Ilmuwan Teliti 31 Tanda Vital di Bumi, Begini Hasilnya!

Ilustrasi. (Foto: iStockphoto)

Grafikanews.com - Tim ilmuwan internasional yang dipimpin Oregon State University (OSU) dan Global Systems Institute (GSI) di University of Exeter, melacak 31 tanda vital Bumi. Hasilnya, mengkhawatirkan.

Dari studi ini, sebanyak 18 tanda vital tercatat menurun, bahkan memecahkan rekor. Catatan ini termasuk konsentrasi tertinggi gas rumah kaca, metana dan nitrogen oksida, serta massa es terendah yang pernah ada di Greenland dan Antartika.

Para penulis menyoroti tanda-tanda vital tersebut antara lain sebagai berikut:

• Tahun 2020 adalah tahun terpanas kedua dalam sejarah, dengan rekor lima tahun terpanas semuanya terjadi sejak 2015

• Pada April 2021, konsentrasi karbon dioksida mencapai 416 bagian per juta. Ini adalah konsentrasi rata-rata global bulanan tertinggi yang pernah tercatat

• Tingkat kehilangan hutan tahunan Amazon Brasil meningkat pada tahun 2019 dan 2020, mencapai tingkat tertinggi dalam 12 tahun dengan 1,11 juta hektar deforestasi pada tahun 2020

• Pengasaman laut mendekati rekor sepanjang masa, berbarengan dengan meningkatnya suhu panas. Hal itu mengancam terumbu karang yang menjadi sandaran lebih dari setengah miliar orang untuk makanan, pariwisata, dan perlindungan gelombang badai.

Memang tidak semua catatannya buruk. Kabar baiknya, divestasi bahan bakar fosil dan subsidi bahan bakar fosil meningkat signifikan. Para peneliti dengan gigih menyerukan penghentian penggunaan bahan bakar fosil, dan harga karbon global yang cukup tinggi untuk mendorong dekarbonisasi yang meluas.

"Ada semakin banyak bukti bahwa kita semakin dekat atau telah melampaui titik kritis yang terkait dengan bagian penting dari sistem Bumi, termasuk terumbu karang air hangat, hutan hujan Amazon dan lapisan es Antartika Barat dan Greenland," kata William Ripple, profesor ekologi terkemuka di OSU College of Forestry.

"Kita harus berhenti memperlakukan darurat iklim sebagai masalah yang berdiri sendiri. Pemanasan global bukanlah satu-satunya gejala dari sistem Bumi kita yang semakin tertekan," sambungnya seperti dikutip dari Exeter.

Dia menegaskan, kebijakan untuk memerangi krisis iklim atau gejala lainnya harus mengatasi akar penyebabnya: eksploitasi berlebihan manusia terhadap planet ini.

Pandemi COVID-19 memiliki efek samping yang sedikit berkontribusi pada perlambatan dampak krisis iklim. Namun, ini tidak akan bertahan lama. Pelajaran utama dari pandemi, kata para penulis, adalah bahwa penurunan transportasi dan konsumsi yang sangat besar pun tidak cukup untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Sebaliknya, perubahan sistem transformasional diperlukan, bahkan meskipun jika secara politik tidak populer.

Tim peneliti yang mencakup kolaborator dari AS, Inggris, Australia, Prancis, Belanda, Bangladesh, dan Jerman, menyerukan "pendekatan kebijakan jangka pendek tiga cabang" yang mencakup harga karbon yang diterapkan secara global, penghentian dan pelarangan bahan bakar fosil, dan cadangan iklim strategis untuk menjaga dan memulihkan penyerap karbon alami dan keanekaragaman hayati.

"Harga karbon perlu dikaitkan dengan dana yang adil secara sosial untuk membiayai kebijakan mitigasi dan adaptasi iklim di negara berkembang," kata Ripple.

"Kita perlu segera mengubah cara kita melakukan sesuatu, dan kebijakan iklim baru harus menjadi bagian dari rencana pemulihan COVID-19 sedapat mungkin. Sudah waktunya bagi kita untuk bergerak bersama sebagai komunitas global dengan rasa kerja sama, urgensi, dan kesetaraan yang sama," tutupnya. (Red)





(Sumber: detikInet)


Tags: