Cerita Fajar Alfian: Mengaku Masih Terasa Tak Enak Pasca Kekalahan di Asian Games

Fajar dan Rian harus puas dengan medali perak Asian Games 2018 (Sumber : CNN Indonesia)

GrafikaNews.com - All Sport - Fajar Alfian bersama Muhammad Rian Ardianto adalah salah satu andalan Indonesia di badminton era saat ini. Bagaimana pandangan Fajar tentang perjalanan karier dan berbagai hal, berikut wawancara Fajar dengan CNNIndonesia.com.

Duet Fajar/Rian merupakan salah satu bintang di dunia badminton saat ini. Meski demikian, mereka juga dihadapi oleh sejumlah tantangan termasuk persaingan melawan dua ganda putra Indonesia lainnya, Kevin Sanjaya/Marcus Fernaldi Gideon dan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan.

Bagaimana pandangan Fajar, berikut seperti dilansir dari CNNIndonesia.com

Bisa ceritakan masa kecil Fajar Alfian sebagai anak-anak?

Saya lahir di Bandung dan besar di sana. Waktu kecil itu namanya sepak bola olahraga masyarakat, apalagi saya tinggal di kampung. Di kampung pastilah yang namanya olahraga pasti sepak bola. Jadi dari kecil sudah main sepak bola di kampung halaman.

Cuma ya memang orang tua saya dulu katanya pernah jadi kiper terus dia pernah bocor bibirnya kena tendangan lawan. Atas dasar itu, saya tidak diizinkan jadi atlet sepak bola karena banyak kontak fisik. Sama orang tua tidak diizinkan latihan sepak bola. Saya sendiri sebenarnya ingin masuk SSB di Bandung saat itu.


Apakah rutin bermain bola dan biasanya main di posisi apa?

Waktu kecil karena lingkungan main bola jadi terbawa. Tetapi saya belum tahu, belum kepikiran mau jadi apa sebagai pemain bola. Saya pribadi memang hanya ikut alur saja.

Enggak jago, karena masih kelas 1-2 SD, jadi masih asal tendang saja.

Lalu kapan mulai serius main badminton?

Mungkin mulai latihan rutin saat SMP. Saya dari kelas 4 SD sudah latihan, namun paling hanya dua kali seminggu. Yang mulai serius latihan tiap hari saat SMP kelas 3 karena saya memang masih sekolah biasa.

Berarti bisa dibilang telat untuk menekuni badminton secara serius?

Atlet badminton yang lain memang terkadang saat masuk SMP sudah mulai serius dan meninggalkan sekolah. Kalau saya memang sampai SMA bahkan saya masih sekolah terus.

Jadi sampai SMA, saya hanya latihan 1-2 kali sepulang sekolah, yaitu sore dan malam.

Saya latihan selalu setelah sekolah selesai. memang saat itu tidak ada niatan masuk pelatnas, niatnya itu cuma latihan badminton. Karena kata orang tua, saya harus menjalani pendidikan, tetapi jua punya keahlian biar tidak susah masuk kerja.

SMA berarti masih di Bandung?

Saya sempat waktu kelas 1 SMA pernah mencoba klub di Tangerang namanya Ganesha, tahun 2011. Waktu itu saya cuma bertahan tiga bulan karena tidak betah, padahal tiga bulan itu saya sudah tidak sekolah reguler.

Saya kemudian minta orang tua saya untuk sekolah lagi, tidak mau main badminton lagi. Jadi saya sempat down, dalam pikiran saya ternyata kehidupan badminton di asrama seperti ini.

Akhirnya orang tua memutuskan saya fokus sekolah lagi di Bandung. Waktu itu sekolah sudah tidak mau menerima saya namun karena saya punya prestasi di badminton, akhirnya saya bisa masuk lagi.

Berarti kamu jarang ikut main di sirkuit nasional selama junior?

Saya baru tahu sirkuit nasional di taruna awal sekitar umur 16. Mungkin remaja kalau tidak salah pernah ikut satu kali. Saat sekolah, saya tahunya hanya turnamen lokal Jawa Barat saja.

Lalu masuk klub SGS kapan?

Saya baru masuk klub SGS kelas 3 SMA. Sebelumnya saya pernah latihan di Pikiran Rakyat dan latihan pribadi saja di kampung. Sehari-hari latihan di kampung baru kalau ada pertandingan latihan dulu di Pikiran Rakyat. Saya tidak sempat latihan di asrama-asrama seperti pemain lain.

Karena juara di turnamen lokal, klub Mutiara mau membawa saya saat saya kelas 2 SMA. Namun syaratnya saya tidak usah sekolah reguler lagi, fokus di badminton.

Ada dua klub yang berminat pada saya, Mutiara dan SGS. Tetapi Mutiara meminta saya untuk melepas sekolah. Sedangkan di SGS, latihan hanya malam hari sehingga sekolah malam hari.

Saat itu saya ingin masuk Mutiara, namun karena masih kelas 2 SMA, orang tua tidak mengizinkan karena sebelumnya saya sudah berkomitmen tidak lagi fokus di badminton usai kegagalan di Ganesha.

Menurut orang tua saya, kalau mau fokus di badminton, ya sudah nanti saja setelah sekolah lulus SMA. Akhirnya saya tidak ambil SGS dan Mutiara di kelas 2 SMA dan baru masuk SGS saat hampir lulus di kelas 3 SMA.

Meski terbilang telat kamu bisa masuk tim untuk Kejuaraan Dunia Junior?

Saya latihan di SGS selama setahun dan kemudian bisa main di Kejuaraan Dunia Junior. Saya juga tidak menyangka karena saat itu saya tidak ada niatan sampai seperti itu. Yang namanya pelatnas saja saya tidak tahu.

Dalam persiapan menuju Kejuaraan Dunia Junior, saya tiga bulan latihan di pelatnas. Lalu setelah itu saya kembali ke klub, main di Kejurnas dan saya bisa jadi juara Kejurnas.

Setelah jadi juara kejurnas, saya mulai punya keyakinan bisa masuk pelatnas, bisa jadi pemain profesional.

Saya juara kejurnas di nomor ganda campuran eh tidak tahunya enggak dipanggil ke pelatnas di awal 2014.

Waktu itu saya down banget. Saya sudah berusaha fokus di badminton tetapi hasilnya seperti itu. Mengecewakan banget. Di bulan Februari 2014, saya berbicara ke orang tua dan SGS bahwa saya mau meninggalkan badminton dan mau fokus kuliah.

Bagaimana reaksi orang tua dan klub?

Orang tua saya langsung mendaftarkan saya ke Perguruan Tinggi di Bandung, tetapi pihak SGS melobi saya untuk tidak berhenti main badminton. Mereka bilang coba lagi satu tahun, kalau memang tidak dipantau pelatnas, ya sudah terserah saya.

Waktu itu saya sudah masuk kategori dewasa. Saya main di turnamen kategori dewasa namun saya juga daftar kuliah.

Saya mau serius kuliah karena saya sudah kecewa tidak masuk pelatnas dan ingin banting setir ke pendidikan. Namun ternyata sekitar lima bulan dari itu, saya dipanggil ke sini untuk magang.

Lalu begitu masuk pelatnas langsung pindah ke ganda putra?

Pelatih di ganda campuran dan ganda putra memberikan saya hak untuk memilih sektor mana. Di junior, prestasi saya paling menonjol memang di ganda campuran. Namun dalam hati saya, saya lebih condong memilih ganda putra.

Lalu bertanya ke orang tua, orang tua mendukung untuk di ganda putra karena ganda putra bisa ikut Piala Thomas.

Saat itu langsung dipasangkan dengan Muhammad Rian Ardianto?

Rian satu tahun lebih dulu masuk pelatnas dibandingkan saya. Saya dicoba sama Rian untuk Indonesia Challenge karena di latihan dinilai lumayan bagus.

Di Indonesia Challenge kami bisa juara.

Apakah kamu sudah merasa cocok dengan Rian sejak awal?

Di junior, saya hanya sekadar menyapa bila bertemu Rian karena memang beda klub. Di awal pasangan, kami coba menentukan posisi main, siapa yang lebih cocok di depan dan siapa lebih pas di belakang.

Itu yang pertama kali masih acak-acakan dari duet kami awalnya.

Sebagai pemain badminton, kapan kamu merasa mulai banyak dikenal orang?

Mungkin puncaknya pas Asian Games, jadi memang lebih dikenalnya mungkin setelah Asian Games karena atmosfer Asian Games waktu itu di Indonesia luar biasa.

Di tahun-tahun sebelumnya, mungkin hanya penggemar badminton yang benar-benar tahu badminton yang minta foto. Setelah Asian Games, malah kayak di rumah makan atau tempat lain ada yang minta foto bareng.

Terkait Asian Games, bagaimana perasaan kamu kalah di final setelah punya match point?

Dalam prestasi secara garis besar, saya bersyukur bisa menyumbang medali perak karena saya tidak membayangkan hal itu. Bisa masuk Asian Games saja saya tidak menyangka. Karena waktu itu ada Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan ternyata pelatih lebih memilih kami.

Namun kalau bicara final yang di depan mata kami bisa juara, itu sih sampai sekarang kalau berbicara hal itu rasanya masih enggak enak banget.

Karena Asian Games itu empat tahun sekali, apalagi di Indonesia. Kenangan dan memorinya pasti membekas.

Setelah kalah di final, kamu tidak bisa tidur?

Kalau pas malam setelah final saya justru tidur pulas sekali. Karena saat itu mulai dari beregu hingga perorangan, kami bertanding selama 10 hari dan terasa capek dan lelah sekali. Jadi ya begitu waktu tidur, langsung tidur aja dan baru bangun jam 10 siang.

Setelah final, rasanya biasa saja. Setelah final benar-benar belum ada pemikiran itu. Kalah, ya sudah karena masuk final saja sudah bagus.

Rasa gak enak kalah di final itu baru terasa seminggu setelah Asian Games, karena waktu itu banyak acara kesana kemarin. Saat itu malah baru kepikiran 'Kok gua bisa kalah?'

Apakah kamu pernah bertengkar dengan Rian?

Kalau berantem yang serius tidak pernah. Kami selalu diskusi dan komunikasi bila ada hal yang tidak enak didengar.

Tetapi kalau masalah kesal di lapangan, mungkin ada. Misal kalau saya tidak enak main, Rian kesal sama saya. Jadi kebawa keluar lapangan, mungkin seperti itu.

Setelah 1-2 jam usai kami main, kami langsung komunikasi di kamar, tentang kenapa kami bisa main seperti itu. Selama enam tahun berpasangan dengan Rian, tidak pernah ada masalah yang 'wah' banget.

Malah kalau saya nilai, saya dan Rian adalah pasangan yang paling kompak.

Kamu berada di generasi yang sama dengan Kevin/Marcus dan masih ada Ahsan/Hendra yang juga masih hebat. Bagaimana kamu melihat persaingan itu?

Saya melihat banyak hal positif. Karena kiblat ganda putra dunia saat ini pasti Indonesia. Ranking 1-2 ada di Indonesia. Kami bisa latihan dengan ranking 1-2 di pelatnas, menambah pengetahuan kami tentang level permainan tingkat dunia. Mereka anutan, jadi banyak positinya.

Cuma negatifnya, misal ada BWF World Tour Finals, hanya peringkat delapan besar dan hanya boleh dua pasang dari negara yang sama.

Misal seperti Olimpiade yang juga maksimal dua pasang. Meskipun dari segi ranking kami bisa masuk, tetapi karena maksimal dua pasang, jadi kami tidak bisa masuk.

Lalu bagaimana dengan komentar-komentar yang membandingkan kamu dengan Kevin/Marcus dan Ahsan/Hendra, terutama saat kamu baru saja kalah?

Kalau di media sosial ada komentar yang membanding-bandingkan, memang sih kesal pasti ada. Padahal tiap orang berbeda-beda, jalan suksesnya tidak bisa sama.

Namun karena sekarang mungkin terlalu banyak netizen, jadi kami berpikirnya, 'Ya sudah biarkan saja. Nanti mereka juga capek sendiri'.

Yang namanya komentar tidak enak didengar pasti ada saja. Saya sih berpikirnya atlet seperti Cristiano Ronaldo yang banyak fansnya saja, masih ada yang nyinyir. Padahal dia kurang apa sih dalam hal prestasi?

Kedekatan kamu dengan Rian sampai merambah bisnis bareng. Bagaimana ceritanya?

Kami memang sama-sama investasi di bisnis warung kopi, namanya Fajri Coffee. Yang pegang saudara saya. Namun saya dan Rian juga pantau.

Pertimbangan waktu pertama kali bikin, adalah kami punya modal namun bingung usaha apa. Karena kami suka ngopi dan nongkrong, ya sudah saya ajak Rian. Rian juga mau mencoba sambil belajar.

Di luar badminton, kamu sama Rian saling cerita?

Kalau masalah pribadi seperti masalah asmara, enggak ya. Hahaha..

Tidak ada turnamen selama enam bulan namun latihan jalan terus. Bagaimana kondisi kamu?

Saya pribadi rasanya seperti kami latihan tetapi tidak ada tujuan. Rasanya susah banget buat diomongin. Namun sebagai atlet badminton, bila tak latihan seminggu, pasti feel main menjadi beda, main jadi tidak enak.

Hal itu membuat kami harus benar-benar menjaga tetap latihan. Memang situasinya membuat jadi membosankan. Jadi sebagai atlet, harus tahu caranya bikin mood bisa naik.

Kami harus bisa melakukan itu karena situasi saat ini kami latihan tidak ada pertandingan. Setelah itu kami dikarantina tidak bisa keluar, pasti jenuh.

Saya berusaha melakukan berbagai hal untuk meningkatkan mood, yang terpenting positif, misal kami di pelatnas bikin acara bakar jagung seperti itu. Namun tentu jenuh bisa datang.

Itu dari segi latihan. Bagaimana dari segi kondisi finansial enam bulan tanpa turnamen?

Kalau saya bisa bicara jujur, di sini mungkin semua atlet cabang olahraga di masa pandemi ini terkena pengaruh sekali. Yang biasanya ada prize money, ada turnamen, ada pertandingan, sekarang tidak ada. Pastilah bingung.

Harapan Kamu?

Yang paling penting Covid-19 segera berakhir. Bukan buat atlet saja, tetapi buat semua pengusaha juga terdampak. Semoga cepat berakhir dan normal kembali karena situasi ini berpengaruh pada kehidupan kita semua.

Turnamen baru mulai lagi di Januari 2021 untuk pemain Indonesia. Apa rencana kamu?

Untuk tiga bulan ke depan saya belum tahu pasti sistem latihan di sini apakah nanti kami diberi libur beberapa minggu untuk pulang dulu ke rumah.

Pernah ditolong orang tidak dikenal dalam kehidupan kamu?

Banyak banget. Jadi memang banyak orang yang berkorban buat saya. Mungkin seperti kemarin saat ada yang anter odading. Saat itu saya memang ingin mencoba.

Momen terburuk kamu sebagai pemain badminton?

Mungkin ketika saya juara kejurnas dan tidak dipanggil ke pelatnas.

Momen terbaik kamu sebagai pemain badminton?

Mungkin saya setidaknya bisa membeli yang saya inginkan, misal membeli rumah, memberi orang tua, memberi prestasi membanggakan nama bangsa.

Kapan orang tua kamu benar-benar mendukung jadi pemain badminton setelah sebelumnya selalu fokus ke akademis?

Orang tua saya selalu mendukung saya di badminton sejak kecil. Namun mereka ingin saya tahu tanggung jawab. Kalau setengah-setengah, mending tidak usah.

Selain itu, orang tua ingin bila saya gagal di badminton, saya punya plan B.

Bagaimana kamu melihat perjalanan kamu sebagai pemain badminton dari awal hingga sekarang?

Awalnya saya hanya main badminton agar cari kerja gampang karena punya keahlian. Itu saja sih. Melihat perjalanan saya, banyak faktor keberuntungan, rezeki.

Karena saya lihat banyak teman di sini yang sudah fokus badminton sejak SD. Mereka sudah jauh dari keluarga sejak SD, merantau. Kalau saya pribadi, malah tidak pernah, tidak merantau untk waktu lama.

Pas awal magang di pelatnas saja kayak mau nangis karena tidak pernah jauh dari orang tua untuk waktu lama.

Kalau pemain lain sudah biasa jauh dari orang tua, saya selalu video call dengan orang tua. Saya rasanya udah ingin pulang. Kalau nangis tentu saya di kamar, dikunci, atau kadang di toilet.

Kenangan kamu jadi pemain pelatnas hari-hari pertama bagaimana? Minder atau percaya diri?

Bukan minder lagi, saya dari Bandung hanya seorang dari klub saya, sedangkan pemain baru lain sama partnernya. Angkatan saya, dari SGS, hanya saya seorang.

Bukan minder lagi, saya saja awalnya tidak tahu kalau pelatnas itu lapangannya sampai 21 lapangan. Pokoknya masuk pelatnas kayak ndeso banget, minder banget lah.

Paling Anthony Ginting yang ada dari SGS sudah duluan di sini, namun dia pemain tunggal jadi latihan di SGS nya beda jam. Di SGS juga kami tidak tinggal di asrama sehingga kami jarang bertemu.

Terus bagaimana perasaan kamu saat bertemu pemain senior macam Ahsan/Hendra?

Kalau melihat mereka rasanya segan banget. Apalagi Bang Ahsan, saya kayak segan banget. Saya pernah dijahilin sama dia. Saya lewat, karena tidak mau lewat depan dia, saya muter.

Tetapi dia lihat dan terus saya dipanggil.

"Kenapa muter? Push up dulu." Begitu kata Bang Ahsan.

Karena saking takutnya mau lewat depan dia. Bukan karena tidak mau menyapa, tetapi karena sungkan. Saking sungkannya sehingga saya pilih muter.

Terus sekarang sama Ahsan/Hendra sudah lebih akrab?

Ya apalagi sekarang sama Bang Ahsan sudah sekamar. Kalau malam memang Bang Ahsan pulang, tetapi kalau siang saya sekamar dengan Bang Ahsan [istirahat siang menunggu latihan sore].

Kalau misalnya kamu tidak jadi pemain badminton, bagaimana kamu melihat karier dan kehidupan kamu?

Paling saya jadi guru. Sebelum masuk pelatnas kan saya sudah kuliah di pendidikan, terus orang tua dan kakak saya jadi guru, jadi sepertinya tidak jauh dari sana. (*)

Tags: